Santri Ploso “Ngetes” Kewalian Gus Dur

143 dibaca

Suatu ketika KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) diajak Prof. Dr. Sayyid Aqiel Al-Munawwar ke makam kakeknya di Palembang. Sampai di kompleks makam, sengaja Sayyid Aqiel Al-Munawwar tidak menunjukkan makam kakeknya kepada Gus Dur, beliau kepingin “ngetes” apakah benar Gus Dur itu wali apa bukan? Berikut kelanjutan catatan zubairi indro “kewalian” Gus Dur dari berbagai sumber.

TANPA tanya sana sini, ternyata Gus Dur langsung “nyelonong” menuju ke makam kakek Sayyid Aqiel Al-Munawwar. Padahal, Gus Dur belum pernah ke situ dan matanya tidak bisa melihat.“Loh Gus, Anda kok tahu makam kakek saya ?,” tanya Sayyid Aqiel Al-Munawwar heran.
Saya menjalani tradisi keluarga agar sebelum datang Ramadan, berziarah ke makam guru-guru yang sudah wafat dan bersilaturrahmi kepada guru-guru yang masih hidup beserta keluarganya. Kebetulan saat itu giliran bersilaturrahmi kepada garu saya, KH. Bachit Hasan, menantu (almaghfurlah) KH. Abdul Hadi Ismail, Gading Raya, Jakarta Timur.
Dalam kesempatan itu, Kiai Bachit bercerita banyak, salah satunya tentang maqam kewalian. Di antara maqam kewalian, kata beliau, ada satu maqam yang cukup tinggi dimana semua auliya, termasuk wali quthub, sangat menghormati orang yang berada di maqam ini. Maqam kewalian ini disebut sebagai maqam para wali hawariyyun.
Tugas wali hawariyyun sangat berat, yaitu menjaga agar ajaran Islam tetap berada di relnya. Ciri-ciri dari wali hawariyyun di antaranya adalah berani, suka membela orang yang teraniaya, hidup di tengah masyarakat laksana mercusuar yang menjadi penunjuk jalan, dan hidupnya selalu dikelilingi fitnah. Di tiap zaman, wali hawariyyun ini jumlahnya hanya satu orang.
Diriwayatkan bahwa di zaman Rasulullah, orang yang mendapatkan maqam wali hawariyyun ini adalah sahabat Zubair bin Awwam, sebagaimana sabda beliau, “Setiap Nabi/Rasul memiliki hawariy dan hawariy saya adalah Zubair bin Awwam”. Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga dikatakan banyak ulama masuk sebagai yang berada di maqam wali hawariyyun ini.
Lantas Kiai Bachit juga bercerita tentang maqam kewalian Gus Dur yang membuat saya terkaget-kaget karena baru kali ini saya tahu persis maqam kewalian beliau yang sebenarnya. Kiai Bachit bercerita bahwa beliau mendapat keterangan dari mertuanya KH. Abdul Hadi yang diriwayatkan dari guru mulianya, Al Walid Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf Bukit Duri, bahwa Gus Dur itu ternyata seorang wali hawariyyun.
Seluruh auliya dari Timur sampai ke Barat tahu siapa Gus Dur dan sangat menghormatinya. Dikatakan pula bahwa wali hawariyyun itu sikapnya memang seperti Gus Dur, yang keras membela orang-orang yang teraniaya. Warga NU harusnya bangga memiliki Gus Dur. Setelah Gus Dur wafat, siapa yang menggantikannya? Kiai Bachit menjawab, ada ulama seperti Gus Dur tapi tempat tinggalnya ada wilayah tanduk Afrika. Beliau mengatakan itu tanpa menyebut nama dan negaranya.
Menguji Kewalian Gus Dur
Dalam sebuah forum Gusdurian, seorang santri asal Pesantren Ploso, Kediri, Jatim, mengaku kepada Allisa Wahid, putri Gus Dur, bahwa ia pernah menguji kewalian Gus Dur. Santri yang memiliki sikap kritis ini mengisahkan, suatu hari ia datang ke Jakarta untuk suatu keperluan. Hajatnya di Jakarta pun berjalan baik, sayangnya ada masalah baru, yaitu kehabisan uang saku untuk kembali ke Kediri. Ia pun berfikir untuk menemui KH Said Aqil Siroj di Ciganjur Jakarta Selatan untuk menyampaikan persoalannya ini, tetapi sesampai disana ternyata Kang Said sedang pergi.
“Wah bisa gawat ini kalau sampai ngak bisa pulang,“ pikiranya dalam hati. Ia pun terdiam, berusaha mencari solusi lain bagaimana agar bisa pulang ke pesantren. Tiba-tiba terbersit pikirannya, “Mengapa ngak bersilaturrahmi ke Gus Dur di rumah sebelah. Katanya orang-orang, beliau kan wali, coba saja ah, diuji sekalian, benar apa ngak dia seorang wali, mumpung lagi dekat.”
Ia pun segera memutar langkahnya menuju rumah Gus Dur yang jaraknya hanya sepelemparan batu saja dari rumah Kang Said. Beruntung, Gus Dur sedang di rumah dan ia segera antri untuk bisa bertemu Gus Dur yang hari itu sedang banyak tamu. Ketika sudah tiba gilirannya, ia pun masuk, mencium tangan Gus Dur sebagaimana etika seorang santri kepada kiainya.
Menyampaikan bahwa ia santri dari Ploso, Kediri, ingin bersilaturrahmi sebelum pulang, tapi ia tak menyampaikan sedang tak punya ongkos. Gus Dur rupanya tahu persoalan yang sedang dialaminya. Begitu pamit, ia diberi ongkos yang cukup untuk membeli tiket kereta api kelas bisnis. Ia pun senang sekali, karena ketika berangkat hanya naik kereta kelas ekonomi. Barulah ia percaya kalau Gus Dur itu seorang wali.(bersambung)