Menghilang di Depan Kiai Sepuh

620 dibaca

Sistem dakwah yang dilakukan Gus Miek tidak bisa dicontoh, karena resikonya sangat berat bagi mereka yang alim pun. Bahkan ulama besar KH.Abdul Hamid, Pasuruan, Jawa Timur, mengaku tidak sanggup melakukan dakwak seperti yang dilakukan Gus Miek. Mengapa demikian? Padahal KH. Abdul Hamid juga seorang waliullah, dan memiliki ilmu cukup tinggi? Berikut kelanjutan catatan zubairi indro.

Ketika Gus Miek masih berusia 9 tahun, Gus Miek sowan ke rumah KH. Mas’ud (Gus Ud) Pagerwojo, Sidoarjo, Jawa Timur. Gus Ud adalah seorang tokoh kharismatik yang diyakini sebagai seorang wali. Beliau sering dikunjungi olah sejumlah ulama besar untuk meminta doanya. Di rumah Gus Ud inilah untuk pertama kalinya Gus Miek bertemu KH. Ahmad Siddiq, yang dikemudian hari menjadi orang kepercayaannya dan sekaligus besannya.

Saat itu, KH. Ahmad Siddiq masih berusia 23 tahun, dan tengah menjadi sekretaris pribadi KH. Wahid Hasyim, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Agama. Sebagaimana para ulama yang berkunjung ke ndalem (rumah Gus Ud), kedatangan KH. Ahmad Siddiq ke rumah Gus Ud juga untuk mengharapkan doa dan dibacakan Al-Fatehah untuk keselamatan dan kesuksesan hidupnya. Tapi, Gus Ud menolak, kemudian Gus Ud menunjuk Gus Miek yang saat itu tengah berada di luar rumah. Gus Miek dengan terpaksa membacakan Al-Fatehah setelah diminta oleh Gus Ud.

KH. Ahmad Siddiq, sebelum dekat dengan Gus Miek, pernah menemui Gus Ud untuk bicara empat mata menanyakan tentang siapakah Gus Miek itu.“Mbah, saya sowan karena ingin tahu Gus Miek itu siapa? Kok banyak orang besar seperti KH. Hamid menghormatinya?” tanya KH. Ahmad Siddiq.

“Sekitar tahun 1950-an, kamu datang ke rumahku meminta doa. Aku menyuruh seorang bocah untuk mendoakan kamu. Itulah Gus Miek. Jadi, siapa saja, termasuk kamu, bisa berkumpul dengan Gus Miek itu seperti mendapatkan Lailatul Qodar,” jawab Gus Ud.

Begitu Gus Ud selesai mengucapan Lailatul Qodar, Gus Miek tiba-tiba turun dari langit-langit kamar lalu duduk di antara keduanya. Sama sekali tidak terlihat bekas atap yang runtuh karena dilewati Gus Miek. Setelah mengucapkan salam, Gus Miek kembali menghilang.

Suatu ketika, Gus Miek tiba di Jember, Jawa Timur, bersama Syafi’i dan KH. Hamid Kajoran, mengendarai mobil Fiat milik Sekda Jember. Sehabis Ashar, Gus Miek mengajak pergi ke Sidoarjo. Rombongan bertambah Mulyadi dan Sunyoto. Tiba di Sidoarjo, Gus Miek mengajak istirahat di salah satu masjid. Gus Miek hanya duduk di tengah masjid, sementara KH. Hamid Kajoran dan Syafi’i tengah bersiap-siap menjalankan salat jamak takhir (Magrib dan Isya).Ketika Syafi’i iqomat, Gus Miek menyela. “Mbah….Mbah…. salatnya nanti saja di Masjid Ampel,” KH. Hamid dan Syafi’i pun tidak berani melanjudkan.

Tiba-tiba, dri sebuah gang terlihat seorang anak laki-laki keluar, sedang berjalan perlahan. Gus Miek memanggilnya. “Mas, beri tahu Mbah Ud, ada Gus Hamim dari Kediri,” kata Gus Miek kepada anak itu.

Anak itu lalu pergi ke rumah Mbah Ud. Tidak beberapa lama, Mbah Ud datang dengan dipapah dua orang santri.“Masya Allah, Gus Hamim, sini ini Kauman ya, Gus. Kaumnya orang-orang beriman ya, Gus. Ini Masjid Kauman, Gus. Anda doakan saya selamat ya, Gus,” teriak Mbah Ud sambil terus berjalan ke arah Gus Miek.

Ketika sudah dekat, Gus Miek dan Mbah Ud terlihat saling berebut untuk lebih dulu menyalami dan mencium tangan. Kemudian Gus Miek mengajak semuanya ke ruamah Mbah Ud. Tiba di rumah, Mbah Ud dan Gus Miek duduk bersila di atas kursi, kemudian dengan lantang keduanya menyanyikan salawat dengan tabuhan tangan. Seperti orang kesurupan, keduanya terus bernyanyi dan memukul-mukul tangan dan kaki sebagai musik iringan. Setelah puas, keduanya terdiam. “Silakan, Gus, berdoa,” kata Mbah Ud kepada Gus Miek. Gus Miek pun berdoa dan Mbah Ud mengamini sambil menangis.

Di sepanjang perjalanan menuju ruamah Syafi’i di Ampel, Sunyoto berbisik-bisik dengan Mulyadi. Keduanya penasaran dengan kejadian yang baru saja mereka alami. Karena Mbah Ud Pagerwojo terkenal sebagai wali dan khariqul ‘adah (di luar kebiasaan). Hampir semua orang di Jawa Timur segan terhadapnya. “Mas, misalnya ada seorang camat yang kedatangan tamu, lalu camat tersebut mengatakan silakan-silakan dengan penuh hormat, itu kalau menurut kepangkatan, bukankah tinggi pangkat tamunya?” tanya Sunyoto kepada Mulyadi.

Mbah Ud adalah salah seorang tokoh di Jawa Timur yang sangat disegani dan dihormati Gus Miek selain KH. Hamid, Pasuruan. Hampir pada setiap acara haulnya, Gus Miek selalu hadir sebagai wujud penghormatan kepada orang yang sangat dicintainya itu.

Mungkin KH. Ahmad Siddiq lupa pada peristiwa 16 tahun sebelumnya saat beliau sowan kepada Gus Ud, Pagerwojo, Sidoarjo. Di mana secara tersirat Gus Ud menunjukkan bahwa Gus Miek adalah yang sulit diterima nalar biasa. Bahkan KH. Ahmad Siddiq sendiri oleh Gus Ud justru disuruh meminta doa Al-Fatehah kepada Gus Miek. Sepak terjang dan ajaran-ajaran Gus Miek semasa hidupnya memang dikenang sampai sekarang oleh para jamaahnya. (habis)