Tafakur, Konsep Islam Jalan Menuju Tuhan (1)

276 dibaca

Bertafakur, merenung memikirkan tentang ciptaan yang tergelar di jagat raya ini, merupakan perintah Allah. Tafakur, intinya berhubungan dengan Tuhan. Dalam konsepsi Islam, pendekatan diri pada Tuhan, berarti memasuki dunia Tasawuf. Esensinya mendekat sedekat-dekatnya pada Tuhan, sehingga dapat melihat Tuhan dengan mata hati, bahkan ruhnya dapat menyatu dengan Tuhan. Mengapa kok ruh? Sebab Tuhan bersifat ruhani. Karenanya, yang bisa mendekat pada Tuhan adalah ruh, bukan jasad. Dan, Tuhan Maha Suci, karenanya yang diterima Tuhan adalah ruh suci.
Di dalam ajaran Islam, Tuhan dekat sekali pada manusia. Dekatnya Tuhan pada manusia dijelaskan dalam al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 186. “Jika hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka Aku sangat dekat, dan akan mengabulkan seruan orang yang memanggil jika Aku dipanggil.”
Manusia yang berjalan menuju Tuhan, harus melewati terminal-terminal, yang istilah sufistiknya Maqamat (perhentian). Di setiap terminal, harus melakukan penyucian diri, yaitu penyucian ruh. Untuk penyucian ruh ini, harus dilakukan disetiap terminal. Terminal penyucian diri yang harus dilalui, menurut Abu Bakar Muhammad Al-Kalabadzi, dibagi antara lain: taubat, zuhud, sabar, kefakiran, kerendahan hati, taqwa, tawaqal, kerelaan, cinta dan makrifat.
Sementara menurut Al-Ghazali merinci menjadi taubat, sabar, kefakiran, zuhud, tawakal, cinta, makrifat, dan ridha. Sedangkan Al-Qusyairi merinci menjadi taubat, wira’I, zuhud, tawakal, sabar, dan ridha. Taubat merupakan terminal atau stasiun pertama. Seseorang tidak akan menemukan jalan menuju Tuhan apabila tidak bertaubat lebih dulu. Bertaubat atas dosa-dosanya, terutama dosa besar. Perbuatan dosa yang pernah dilakukan harus diingat-ingat, dihitung lalu disesali. Ditaubati secara taubatan Nasuha, yaitu taubat yang sungguh-sunguh, dalam arti merasa dosa-dosanya tidak terampuni. Yang terpenting lagi tidak mengulangi berbuat dosa.

Dosa
Apakah dosa itu? Banyak definisi tentang dosa. Namun, intinya adalah noda atau kotoran, akibat dari perbuatan yang pernah dilakukan. Dengan adanya noda itu dalam hati timbul perasaan menyesal. Disesali!. Lama kelamaan, apabila tidak dihapus, tidak dicuci, malahan akan semakin bertambah, maka akan menjadi beban bagi dirinya sehingga akan menenggelamkan dalam lumpur dosa. Jika seorang tenggelam dalam lumpur dosa, maka akan sangat jauh dari Tuhan.
Penyucian atau pembersihan dosa itu tidak lain dengan jalan bertaubat. Di terminal taubat itu waktunya tidaklah singkat. Cukup lama. Dan, yang dicuci adalah ruh atau jiwa. Sebab, yang merasa menyesal adalah jiwa. Menghitung-hitung dosa-dosa besar, juga dosa kecil.
Pertaubatan, menurut ahli tauhid dan sufistik ada sejumlah kewajiban yang harus dilakukan. Menurut KH Abdul Jalil Hamid dalam karyanya Tasawuf petunjuk jalan kebenaran, ada 4 yakni:
1. Harus menyesali atas perbuatannya yang telah terlanjur dilakukan.
2. Harus menghentikan dari melakukan segala kemaksiatan.
3. Niat bersungguh-sungguh tidak akan mengulang lagi untuk berbuat maksiat.
4. Menyelesaikan urusannya dengan orang yang berhak, dengan meminta maaf atau halalnya atau mengembalikan apa yang harus dikembalikan.
Selain itu, dirinya wajib terus menerus dengan cara menghitung-hitung dan selalu mengingat dosa-dosa yang pernah dilakukan, agar supaya dapat mencegah diri dari berbuat maksiat dan menjauhinya. Sebagaimana pernah diucapkan Sahabat Umar bin Khatab ra : “Hitunglah semua kesalahanmu sendiri sebelum dihitung dihadapan Allah dan bersiap-siaplah untuk menghadap kehadirat Allah SWT.”
Selain itu harus menjaga mata dari melihat kekurangan sesama muslim dan dari melihat kepada perkara yang diharamkan. Menjaga mata sangat penting dalam penyucian diri. Sebab penglihatan merupakan sumber dari segala kemaksiatan. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Penglihatan itu merupakan panah yang diracuni dari panahnya setan yang terkutuk.”
Setelah menjaga mata berikutnya adalah menjaga lidah dari berdusta, membicarakan aib orang lain, adu domba dan lain sebagainya. Juga harus menjaga semua anggota badannya dari kemaksiatan, serta bersungguh-sungguh menjaganya dan tidak bermalas-malasan.
Jika sudah berhasil dalam usaha ini, baru meningkat ke maqam Wara’I yaitu menghindari dari perbuatan Makruh, Syubhat dan samar-samar. Apa saja hal-hal yang dimakruhkan, dan apa saja yang termasuk samar, tidak jelas hukumnya. Semua ini harus dihindari.(bersambung)  ****  Bung Yon N.