Satukan Militer dan Pesantren

309 dibaca

Sosok KH. M.Amin Mustofa  dari Tunggul, Paciran, Lamongan adalah salah satu pengobar perang legendaris 10 Nopember 1945 di Surabaya. Beliau pejuang di  wilayah barat yang sangat terkenal. Kiai kharismatik yang tahan peluru, selalu lolos dalam berbagai kontak senjata saat perang 1945.

DITEMNANI alunan surat at-Taubah (Pengampunan), menuliskan kisah heroik, patriotik, bisa dipakai sebagai inspiratif bagi generasi kini. Perpaduan dunia pendidikan khususnya pesantren dengan militer terutama semangat bela kebenaran. Beliau gugur disiksa dan ditembak Belanda dan di makamkan di tepi Jalan Desa Dagan, Paciran, Lamongan.

Terlahir dengan nama Moh. Amin tahun 1914 meninggal Juli 1949 merupakan santri yang militant. Pengasuh Pondok Islam wal Iman yang mahir bidang hukum Islam (ahlul figh). Beliau satu satunya orang Lamongan anggota KNIP yang sering diundang rapat di Jakarta bersama Masyhoedi dari Bojonegoro, sehingga tak salah bila komunikasi dengan tokoh-tokoh lain berjalan dengan lancar. Sayangnya “beslit” pengangkatan menjadi anggota KNIP yang ditandatangani Presiden RI  Ir. Soekarno terbakar saat pondok pesantrennya diobrak abrik Belanda lalu di bumi hanguskan dalam agresi militer ke II.

Heroisme dan militansi KH. Moh. Amin dan pasukannya menyatukan “Disiplin Pendidikan dan disiplin Militer” tergabung dalam Hizbullah-Sabilillah berjuang di Surabaya bagian barat. Ketika itu pasukannya membawa bendera Merah Putih dan bendera Hizbullah diobrakabrik Belanda. Peran laskar Hizbullah-Sabilillah dalam perang rakyat 10 Nopember 1945 menjadi tonggak pemertahanan kemerdekaan republik ini. Apalagi didorong semangat takbir “Allahu Akbar…..” dan kata Merdeka yang dikumandangkan Bung Tomo.

Keheroikan dan kepahlawanan Moh. Amin dalam pertempuran 10 Nopember 1945 cukup legendaris sampai sekarang. Bahkan saat itu Moh. Amin adalah seorang yang tak mempan senjata maupun peluru saat bertempur. Beliau dikabarkan tak mati meski dilempari bom sampai delapan kali. Hal ini membuat ribuan orang menyerbu ke Tunggul saat Moh. Amin untuk meminta ijazah “Kekebalan” darinya. Padahal seperti dikatakan anak tertua Hazim saat itu sambil senyum “Beliau mengatakan tidak mati lantaran bomnya meleset”.

Usai peristiwa heroik di Surabaya dengan penyobekan Bendera Belanda di Hotel Oranye, apalagi setelah kematian Brigadir Jenderal AWS Mallaby yang tergabung dalam Brigade 49, Divisi 23, Belanda mengobrak-abrik Lamongan setelah mendarat di Pantai Glondong, Tuban, menyusur dan mengepung  wilayah Pantura dari tiga jalur. Jalur Sukodadi sempat terjadi class di Parengan tepi Bengawan Solo, sampai meninggalnya Kadet Soewoko dkk. Jalur Karang Geneng dan jalur Paciran dibantu dari daerah Gresik barat.

Seperti diceritakan Budayawan Lamongan Drs. H. Ach. Chambali terendusnya lokasi baru KH. Moh. Amin tak terlepas dari mata-mata Belanda Husen warga Banjarwati asal Madiun dan juga Urip Kepala Desa Kranji antek penjajah.  “Saat mengajar ngaji di tengah sawah karena pondoknya telah dibakar dan tidak aman. Nasib kurang beruntung saat Moh. Amin sakit karena gubuk tengah sawah ambruk dan tiangnya mengenai dirinya. Beberapa hari kondisinya membaik, beliau sowan ke keluarganya di Tunggul Selatan, di tengah jalan dihadang dan ditangkap tentara Belanda lalu di bawa ke markas Belanda di Paciran,” cerita Ach. Chambali.

Selama di tahanan Paciran dua bersaudara KH. Moh Amin dan Kiai Achmad Moehtadi 13 Juli 1949 bertepatan 17 Ramadan1368 H diangkut mobil Jeep Belanda dibawa ke selatan dan di Desa Dagan. Petinggi Tlogo Sadang dan 4 orang lainnya ditembak di tempat itu dan dimakamkan di kanan jalan Desa Dagan dari arah Paciran. Sedangkan 3 makam sebelah barat dan 4 makam sebelah timur pejuang tak dikenal.

Guru dari Segala Guru

Kepahlawanan dan ketokohan KH. Moh. Amin dan saudaranya peserta para pejuang syuhadak dari Pantura dan Lamongan sebagai pintu gerbang Surabaya barat, sampai saat ini masih bersemayam lekat di hati masyarakat khususnya Pantura. KH. Moh. Amin yang dimakamkan di Desa Dagan, Kecamatan Paciran dan diabadikan sebagai nama jalan di Lamongan Kota, amat kondang. Kejujuran, ketauladanan dan ketokohan beliau ini merasuk ke hati dan setiap darah  mengalir warga Pantura.

ARIFIN KATIQ