Pura Agung Besakih secara spiritual adalah sumber kesucian dan sumber kerahayuan bagi umat Hindu. Karena itulah setiap tahun digelar Upacara Ida Bhatara Turun Kabeh yang maknanya untuk memberikan kesejahteraan dan kemakmuran umat. Juga agar kehidupan dan perilaku menjadi lebih baik.
KEGIATAN ritual berskala besar “Ida Betara Turun Kabeh” di Besakih, pura terbesar di Bali berlangsung selama tiga minggu sejak 11 April lalu berakhir Selasa malam. Gubernur Bali Made Mangku Pastika bersama Ida Dalem Semara Putra melaksanakan prosesi “Nuwek Bagia Pulakerti” sebagai tanda berakhirnya kegiatan ritual tersebut. Hal itu disertai dengan pementasan tarian sakral antara lain tari Rejang, Baris Gede serta Topeng Penyuda Karya, yang mendapat perhatian antusias dari umat.
Ritual “Penyineban” diawali dengan membawa “pretima Ida Betara Pengider Buana” di Besakih untuk kembali ditempatkan ke 18 Pura di areal Pura Besakih, kemudian berakhir dengan “mendem bagia pulakerti” di areal Pura Besakih. Selama tiga minggu kegiatan ritual tersebut berlangsung, hampir setiap hari ribuan umat dari delapan kabupaten, satu kota di Bali maupun dari berbagai daerah di Indonesia melakukan persembahyangan.
Gubernur Pastika didampingi Ny. Ayu Pastika bersama sejumlah Pimpinan organisasi perangkat daerah (OPD), para bupati dan pengurus Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) berbaur dengan ribuan umat untuk melakukan persembahyangan bersama di Pura Penataran Besakih.
Bendesa adat Besakih Jro Mangku Widiartha, selaku panitia kegiatan tersebut mengatakan, pihaknya mendapat bantuan “dana punia” dari pemerintah Provinsi Bali maupun Pemkab dan Pemkot serta umat yang mencapai sekitar Rp3 miliar.
Pelaksanaan Puncak Karya “Ida Betara Turun Kabeh” dipercaya oleh umat Hindu sebagai hari baik menggelar upacara “yadnya” (pengorbanan suci), yang diharapkan bisa menjadi momentum bagi seluruh umat Hindu untuk “mulat sarira” agar kedepannya bisa lebih baik dalam menjalankan kewajiban masing-masing.
Selain itu untuk memohon penyucian bagi alam beserta isinya sebagai bentuk rasa syukur atas berkah yang dikaruniakan Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa. “Semoga seluruh umat sejahtera, jagat Bali `trepti`, itu makna yang kita harapkan dari rangkaian kegiatan ritual yang dilaksanakan selama tiga pekan,” ujar Gubernur Pastika.
Setelah kegiatan ritual berskala besar itu berlangsung, semoga umat Hindu diberkati ketenangan hati dan pikiran, sehingga kedepannya bisa lebih baik dalam melaksanakan ‘swadarma’ (kewajiban) masing-masing.
Besakih merupakan tempat suci umat Hindu terbesar di Pulau Dewata menyimpan ketenangan dan kedamaian yang senantiasa menjadi pusat perhatian umat saat berlangsungnya kegiatan ritual berskala besar.
Pura Agung Besakih berlokasi di lereng kaki Gunung Agung yang memiliki ketinggian 3.142 meter di atas permukaan laut, secara administratif masuk di wilayah Kabupaten Karangasem, sekitar 85 km timur laut Denpasar. Kawasan suci di ujung Timur Bali itu terdiri atas 18 komplek pura yang menjadi satu-kesatuan tak terpisah satu sama lain, memiliki arti penting bagi kehidupan keagamaan umat Hindu, yang dianut sebagian besar masyarakat Pulau Dewata.
Sejarah Resi Resi Markandeya
Nah jika Anda berada di Bali dan mengunjungi pura ini, menurut sejarah pura yang disebut terbesar yang ada di Bali tepatnya di Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem ini dahulu hanya terdapat kayu-kayuan dalam sebuah hutan belantara. Sebelum adanya selat Bali ( Segara Rupek ) Pulau Bali dan pulau Jawa dahulu masih menjadi satu dan belum dipisahkan oleh laut, pulau ini bernama Pulau Panjang atau Pulau Dawa. Di suatu tempat di Jawa Timur yaitu di Gunung Rawang (Gunung Raung) ada seorang Yogi atau pertapa yang bernama Resi Markandeya. Karena ketinggian ilmu bhatinnya ,kesucian rohaninya,serta kecakapan dan kebijaksanaan beliau maka oleh rakyat,beliau diberi julukan Bhatara Giri Rawang.
Pada mulanya Resi Markandeya bertapa di Gunung Demulung, kemudian pindah ke gunung Hyang (konon gunung Hyang itu adalah DIYENG di Jawa Tengah yang berasal dan kata DI HYANG). Sekian lamanya beliau bertapa di sana, mendapat titah dari Hyang Widhi Wasa agar beliau dan para pengikutnya merabas hutan di pulau Dawasetelah selesai, agar tanah itu dibagi-bagikan kepada para pengikutnya.
Demikianlah kemudian beliau berangkat ke tanah Bali disertai pengikutnya yang pertama yang berjumlah 8000 orang dengan perlengkapan dan peralatan yang diperlukan. Sesampainya ditempat yang dituju,beliau memerintahkan pengikutnya agar mulai merambas hutan. Akan tetapi Saat merabas hutan, banyak para pengiring Sang Yogi Markandeya yang sakit, lalu mati dan ada juga yang mati dimakan binatang buas, karena tidak didahului dengan upacara yadnya (bebanten / sesaji).
Kemudian beliau memerintahkan pengikutnya untuk menghentikan perambasan. Dengan hati yang sedih beliau kemudian mengajak pengikutnya untuk kembali ke Jawa. Beliau kembali ketempat pertapaannya semula untuk mohon petunjuk kepada sang Hyang Widhi.Setelah beberapa lamanya beliau berada dipertapaannya, timbul cita-citanya kembali untuk melanjutkan merambas hutan tersebut. Pada suatu hari yang baik,beliau kembali berangkat ke tanah Bali. Kali ini beliau mengajak pengikutnya yang kedua berjumblah 4000 orang yang berasal dari desa Aga yaitu penduduk yang mendiami lereng Gunung Rawung . Turut dalam rombongan itu para Pandita atau para Rsi. Para pengikutnya membawa perlengkapan beserta alat-alat pertanian dan bibit tanaman untuk ditanam di tempat yang baru.
Setelah tiba di tempat yang dituju, Resi Markandeya segera melakukan tapa yoga semadi bersama-sama para yogi lainnya dan mempersembahkan upakara yadnya, yaitu Dewa Yadnya dan Buta Yadnya. Setelah upacara itu selesai, para pengikutnya disuruh bekerja melanjutkan perabasan hutan tersebut, menebang pohon-pohonan dan lain-lainnya mulai dan selatan ke utara. Karena dipandang sudah cukup banyak hutan yang dirabas, maka berkat asung wara nugraha Hyang Widhi Wasa, Sang Yogi Markandeyamemerintahkan agar perabasan hutan, itu dihentikan dan beliau mulai mengadakan pembagian-pembagian tanah untuk para pengikut-pengikutnya masing-masing dijadikan sawah, tegal dan perumahan.
Demikianlah pengikut Rsi Markandya yang berasal dari Desa Aga (penduduk lereng Gunung Rawung Jawa Timur ) menetap di tempat itu sampai sekarang. Di tempat bekas dimulainya perambasan hutan itu oleh Sang Rsi/ Yogi Markandya menanam kendi (caratan) berisi air disertai 5 jenis logam yaitu: emas, perak, tembaga, perunggu dan besi yang disebut Panca Datu dan permata Mirahadi (mirah yang utama ) dengan sitertai sarana upakara selengkapnya dan diperciki Tirta Pangentas ( air suci ). Tempat menanam 5 jenis logam itu diberinama Basuki yang artinya selamat. Kenapa disebut demikian, karena pada kedatangan Rsi Markandya yang ke dua beserta 4000 pengikutnya selamat tidak menemui hambatan atau bencana seperti yang dialami pada saat kedatangan beliau yang pertama. Di tempat itu kemudian didirikan palinggih. Lambat laun di tempat itu kemudian didirikan pura atau khayangan yang diberi nama Pura Basukian. Pura inilah cikal-bakal berdirinya pura –pura yang lain di komplek Pura Besakih. Ada pendapat yang mengatakan bahwa pembangunan pura ditempat itu dimulai sejak Isaka 85 atau tahun 163 Masehi. Pembangunan komplek pura di Pura Besakih sifatnya bertahap dan berkelanjutan disertai usaha pemugaran dan perbaikan yang dilakukan secara terus menerus dari masa ke masa. DANAR S PANGERAN