CITA-CITA MASUK SURGA

171 dibaca

“Kamu pernah membayangkan surga Dul?”

“Pernah…Kamu?”

“Pernah juga, tapi rasanya gagal terus…”

“Kenapa gagal?”

“Habis katanya surga itu tak terbayangkan, bagaimana bias membayangkan?”

“Hehehe…hebat juga. Kalau begitu nggak usah ngebayangin surga saja ya? Daripada gagal melulu?”

“Terus?”

“Ya, merindukan yang punya surga saja…,” tandas Dulkamdi.

“Jadi?”

“Ya sudah. Begitu saja. Sebab saya mendengar kisah Malik bin Dinar dan Tsabit al-Bannany – semoga Allah merahmati keduanya – masuk pada ruang Rabi’ah Al-Bashriyah, lalu Rabi’ah bertanya tiba-tiba kepada Malik:

“Ceritakan kepadaku kenapa kalian menyembah Tuhanmu?”

“Karena hasrat pada surga..” Jawab Malik. Lalu bertanya kepada Tsabit:

“Kalau kamu hai anak muda?”

“Takut pada neraka!” jawab Tsabit. Lantas Rabi’ah berkata:

“Kamu hai Malik tak lebih seperti pekerja yang buruk. Tidak mau bekerja kecuali dengan harapan-harapan. Dan kamu hai Tsabit seperti hamba sahaya yang buruk, mau bekerja kalau dipukul.” Lalu dua orang itu berkata, “Sedangkan kamu hai Rabi’ah.”

“Demi cinta kepada Allah Ta’ala dan rindu kepada-Nya…” Dan dikisahkan, suatu hari Dzunun Nuun al-Mishry ra ketika menasihati orang-orang, mereka menangis semua, namun ada seorang pemuda yang tertawa terbahak bahak. Lalu Dzun Nuun bertanya, “Kenapa anda hai anak muda?” lantas pemuda itu berdiri sambil mendendangkan syair:

Semua menyembah-Nya karena takut neraka

Mereka melihat keselamatan sebagai balasan

Atau menghuni surga, lalu

Berada dalam taman dan air yang mengalir

Sungguh dalam surga abadi bukan hasratku

Aku tak ingin mengganti kekasihku.

Pardi beristigfar berkali-kali. Dan ia tengok keluar pintu kedai, dari kejauhan Kang Soleh sedang berjalan. Tapi tidak menuju arah kedai itu. Pardi teriak memanggilnya. Namun, Kang Soleh ngeloyor pergi.

“ Ada apa kamu panggil-panggil Kang Soleh…”

“Siapa tahu ada solusi darinya…”

“Lhah nggak usah nunggu Kang Soleh, saya bawakan hadits Nabi saw. Di…Nih, kamu baca. Semalam aku ikut perngajian di Ar-Raudhah. Diriwayatkan oleh Abu Dzar Rasulullah Saw bersabda:

“Sungguh aku lebih tahu siapa yang masuk surga paling akhir, dan siapa ahli neraka yang terakhir keluar dari neraka: Yaitu seseorang yang pada hari kiamat besok didatangi, dan dikatakan: “Beberkan padanya dosanya paling kecil dan hapuslah dosa-dosa besar darinya. Kemudian dosa-dosa kecilnya dibeberkan, kemudian dikatakan:

“Anda melakukan perbuatan pada hari ini dan itu, demikian dan demikian, dan anda melakukan dosa itu pada hari ini dan itu, demikian dan demikian?”

Orang tersebut menjawab, “Ya…” Sungguh ia tak bisa memungkiri. Dan Allah Swt sangat kasihan atas banyaknya dosa besar yang dilakukan, manakala dosa-dosa itu dibeberkan padanya. Maka dikatakan padanya, “Maka sesungguh bagi anda adalah setiap tempat keburukan diganti dengan tempat kebaikan.” Orang itu bermunajat, “Oh Tuhan, aku sungguh telah melakukan berbagai perbuatan sampai aku tak tahu di sana ..!”

Perowi hadits ini berkata, “Sungguh aku melihat Rasulullah Saw, (ketika itu) tertawa, hingga tampak gigi-gigi gerahamnya.” Kemudian beliau membaca ayat, “Mereka itulah yang Allah gantikan keburukannya (dosa-dosa) dengan kebaikan-kebaikan.”

”Rasa kasihan di atas, adalah sesuatu yang merupakan rahasia yaqin kepada Allah Ta’ala, sekaligus merupakan kondisi ruhani dari kekuasanNya yang dilimpahkan pada ahli ma’rifat, “ itu ungkapan Kiai Mursyid Di.

”Saudaraku yang mulia!” sosok kakek-kakek tiba-tiba ada di tengah-tengah pengekdai warung Cak San. Weh, jangan-jangan Kang Soleh lagi yang menyamar.

“Siapa pun yang ingin bicara dengan lisan ahli ma’rifat, hendaknya menjaga adab ucapan mereka, karena wilayah ma’rifat itu tidak bisa tersingkap detilnya kecuali ahlinya.
Jangan pula membebani murid dengan ucapan di luar batas kemampuannya, juga jangan mencegah untuk mengungkapkannya manakala memang orang itu berkompeten dengan kema’rifatan, sehingga ucapannya terungkap bersama ahli ma’rifat, melalui lisah ahli makrifat pula.”

“Kang, mbok jangan nyamar lagi….” Tegur Pardi.

Kakek itu tak bergeming, malah terus nerocos:

”Jika dengan kalangan kaum Sufi, hendaknya dengan ungkapan sufistik.
Jika dengan para pecinta, hendaknya dengan bahasa cinta.

Jika dengan kalangan ahli zuhud, hendaknya dengan wacana mereka.
Setiap kalangan, ungkapan terapresiasi sesuai dengan martabat dan derajatnya, menurut kadar akal mereka. Allah Swt, menjadikan kaum ‘arifin dengan bahasa-bahasa seperti itu.
Memang semua itu akan lebur manakala limpahan Kuasa Allah Ta’ala yang turun, maka tidak seyogyanya mengucapkan ungkapan yang tidak selaras dengan kemampuan pendengar, yang bisa menimbulkan fitnah. Karena mayoritas publik itu bodoh (dalam konteks kema’rifatan) karena mereka lebih banyak terpaku pada pengetahuan lahiriyah, dan meninggalkan pengetahuan batin, sehingga mereka tidak mampu menerima beban pandangan ungkapan kaum ‘arifin yang lembut sekali.

Kalam kaum a’rifun itu sangat teosofik (Lahutiyah), dan isyaratnya sangat suci, wacananya begitu Azaly. Bagi para pendengar wacana mereka, sudah seharusnya terpancar lampu-lampu Ilahi dan cahaya keabadian. Disebutkan, “Lisan perilaku ruhani itu lebih fasih ketimbang bahasa lisan. Siapa yang rela dengan perilaku ruhani, bukan rela pada Sang Penguasa Kondisi Ruhani, maka orang tersebut terhinakan dari kondisi ruhani itu sendiri dan ia terhijab dari Yang Maha agung.” Manakah yang lebih dahsyat ketimbang kedahsyatan kaum ‘arifun? Jika ia bicara tentang kondisi ruhaninya, malah ia hancur. Jika ia diam, malah terbakar. Bila hatinya mendapatkan warid Hadrah Ilahi, lisannya malah kelu. Dan jika hatinya sirna dari Hadhrah malah banyak bicaranya.”

“Kang…Kang….Kang…” Pardi mengguncang-guncang tubuh kakek itu. Dan tak bergeming, takberubah. Diamati wajahnya, bukan topeng. Lalu Pardi menxcium tangannya berkali-kali mohon maaf. Tangannya begitu lembut bagai kapas. Senyumnya melegakan jiwa, bagai telaga being yang dalam.

“Maaf, Mbah….Maaf…Saya kira…”

Kang Soleh muncul. “Saya kira siapa Di?”

“Kenalkan…Ini Mbah Saidun. Teman Mursyid kita di Pondok dulu….”

Lalu para pengopi di warung itu berebut mencium tangannya.

  1. Luqman Hakim MA

Cahaya Sufi Jakarta