Mencari Jalan Kesempurnaan (3)

142 dibaca

Kita semua tahu bahwa di Indonesia  pernah disibukkan oleh pemeran-pameran dan kontes-kontes batu akik. Dimana-mana terbentuk paguyuban-paguyuban pecinta batu, yang kegiatannya meramaikan pasar. Panampilan mereka bak penyanyi rep.  Berkalung rantai, liontinnya akik jumbo bergambar. Jari-jemarinya dihiasi cincin akik berbagai ukuran. Semuanya unik dan menarik.

Sebagai karya seni, batu-batu akik yang di pamerkan bagus-bagus. Baik  gambarnya maupun warnanya. Sama halnya dengan sifat manusia. Namun, didalam mencari kesempurnaan sifat, yang sempurna adalah yang tidak berwarna dan tidak bergambar. Artinya, sifatnya kosong.

Didalam memandang karya seni, gambar yang bagus, warna yang terang memang sangatlah menarik. Magnetnya tinggi, sehingga dapat memikat siapa saja yang melihatnya. Berbeda dengan gambar dan warna yang buram dam abstrak. Selain tidak memiliki daya pikat, pesonanya  tidak ada. Hanya orang-orang tertentu yang memahami.

Namun,  gambar dan warna yang  terang bukan berarti  sempurna. Yang dikatagorikan sempurna  adalah yang tidak berwarna. Tidak mengandung warna, tetapi bening dan cahayanya tinggi. Mengapa demikian ?  Yang  seperti itulah yang  dapat menampung segala warna. Melalui batu-batu berwarna yang sedang ngetren di Indonesia ini,  kami mengambil gambaran manusia. Warna-warna manusia. Warna-warna kehidupan.

Bila melihat warna yang indah-indah, penglihatan mata menjadi senang. Warna yang jelas,  mata menjadi terang dan riang. Sebaiknya, warna yang buruk, kusam, dan jelek menjadikan mata sakit. Karenanya tidak suka.

Di dalam kajian ini, melalui gambaran batu-batu akik, kita mencoba memahami rasa dalam diri yang berwarna-warna. Setiap orang memiliki warna-warna yang berbeda. Semua orang memiliki warna. Sedangkan orang yang disebut sempurna, adalah dia yang tidak memiliki warna. Karena orang itulah yang bisa memahami hakikat kehidupan. Berbagai watak, karakter,sifat,  macam-macam persoalan dipahami tanpa dilandasi rasa benci atau suka.

Orang yang disebut sempurna, ia telah lupa pada diri. Ia berada pada pribadi yang Maha Tungal, yang tanpa warna tanpa rupa, namun memuat segala warna dan rupa, memuat segala sifat, yang tidak berarah, tidak bertempat. Tetapi berdiri di pusat arah, dan di pusat tempat.

Manusia yang telah berada di tingkat sempurna dalam warna, tidak akan memperlihatkan keadaan dirinya. Keadaan diri itu apa ? yaitu watak, sifat (baik dan buruk), perilaku, dan sebangsanya. Keadaan semua diri itu  merupakan sifat pribadi yang telah dipendam. Yang diperlihatkan adalah diri yang lain (diri orang lain), yang dianggap sama dengan dirinya, dan semua dirasa sebagai sifat pribadinya. Disini orang tersebut menjadikan dirinya orang lain. Karenanya di dalam memandang dan menilai segala sesuatu pastilah benar dan tidak menggunakan rahsa.

Apa yang disebut benar itu ? Yaitu tetap sebagamana kenyataannya. Sedangkan yang dikatakan  tidak mempergunakan rahsa, yaitu tidak menyukai tidak membenci terhadap yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah.

Hakikat kehidupan ini adalah bayang-bayang. Pantulan gambar. Gambar apa ? Alam beserta isinya ini,  dikatakan  bukan yang nyata adanya, tetapi hanyalah bayang-bayang saja. Sedangkan yang menjadi penyebab adanya bayangan dari Yang Nyata Adanya, karena adanya cermin, yang bernama  Pramana (hati/batin), yang dipinjamkan oleh Tuhan kepada manusia.

Melalui Pramana yang merupakan cermin (Miratul Khaja‘i  alias Kaca Wira‘i),  yang berasal dari Cahaya dan Rasa, sifat dari Yang Nyata Adanya dapat ditonton. Jika terjadi tipuan atau kenyataan dari bayang-bayang, itu bergantung dari cerminnya.

Jika cahayanya terang, tidak tercampur asap, maka sifat Yang Nyata Adanya terlihat jelas. Dan jika terhalang oleh asap yang tebal, maka akan terlihat samar bahkan gelap. (bersambung).

Cak Yon