Lumpuhkan Pencuri Hanya dengan Debu

132 dibaca

SEBALIKNYA Belanda juga tidak tinggal diam. Mereka khawatir perang sabil yang cukup melumpuhkan pihaknya itu berkobar lagi. Akhirnya pengikisan kader-kader Pangeran Diponegoro tak terlelakan lagi. Pengejaran dan penangkapan terus dilakukan sampai pelosok desa. Walaupun begitu masih banyak pengikut Pangeran Diponegoro yang selamat dan masih memperjuangkan dengan segala kemampuannya.

Di antara pengikut pangeran yang masih tangguh dan selamat itu adalah seorang pemuda yang arif, bijaksana dan kaya akan ilmu agama. Konon, pemuda itu dilahirkan di Desa Kaum, Besito, Kudus, Jawa Tengah. Sebuah desa yang selalu diintai oleh penjajah Belanda, saat kemungkaran menginjak-nginjak yang haq, kebodohan dan kesengsaraan masih begitu melekat. Sebuah suasana kelahiran yang mengingatkan kita lahirnya tokoh besar seakan memberi isyaroh calon inilah yang kelak nantinya menegakkan yang haq dan yang memberantas kemungkaran. Beliau itu adalah Kiai Sirojuddin. Sebuah nama yang sampai sekarang masih harum namanya dikalangan masyarakat.

Demi menyelamatkan diri dari kejaran Belanda itu, Kiai Sirojuddin pergi ke arah timur sambil mencari daerah yang benar-benar cocok sebagai tempat tinggal serta mendukung terhadap pengembangan agama yang sesuai dengan apa yang dicita-citakan. Tak hanya itu, beliau juga menyebarkan agama Islam pada setiap desa yang disinggahinya.

Akhirnya sampailah beliau di Kota Kediri. Di kota inilah Kiai Sirojuddin menemukan ketentraman dan kecocokan dalam menyebarkan agama Islam. Tak lama kemudian beliau mempersunting Khatsiroh. Seorang wanita putri seorang naib di Pare yang tingga di utara masjid Kauman Pare. Sewaktu Nyai Khasiroh dipersunting Kiai Sirojuddin, beliau sudah mempunyai seorang putra yang bernama Mustam kemudian menjadi kiai di Semanding.

Setelah menikah, Kiai Sirojudin mengajak istrinya untuk tinggal Di Desa Tunglur, sekitar 4Km dari Pare. Setelah 1 tahun pernikahan Nyai Katsiroh melahirkan seorang putera yang diberi nama Abu Amar. Putra inilah yang kian hari meneruskan cita-cita perjuangan serta mewariskan kepribadian luhur sang kiai. Dan di Tunglur ini beliau tidak tinggal begitu lama. Kira-kira  hanya 2 tahun saja. Setelah itu pindah ke Desa Jombangan.

Kiai Sirojuddin mempunyai suatu keinginan untuk mengembangkan ilmunya lewat pesantren. Selang beberapa hari beliau berjalan-jalan ke arah timur, disaat itulah beliau melihat hutan rimba yang masih alami. Pohon-pohon besar tumbuh diatasnya, dan berbagai macam binatang menjadi penghuninya, disamping itu banyak lelembut dan makhluk halus yang berkeliaran di dalamnya.

Kiai Sirojuddin mempunyai inisiatif untuk menjadikan alas rimba itu menjadi sebuah desa. Dengan penuh percaya diri. Niat suci akhirnya terwujud. Desa itu menjadi aman, tentram dan penuh dengan limpahan rahmat Allah SWT.

Desa itu diberi nama Desa Jombangan, karena di sebelah barat masjid terdapat sebuah jembangan tempat air yang terbuat dari tanah. Setelah hutan itu dijadikan sebuah desa, maka di boyonglah istri dan putra Kiai Sirojuddin ke Jombangan. Ditempat inilah Kiai Sirojuddin hidup rukun aman dan tenteram penuh bahagia bersama keluarga dengan sebuah rumah kecil dan sangat sederhana untuk sekedar berlindung dan beratapkan daun berdinding bambu.

Waktu terus bergulir dan santrinya bertambah banyak. Lalu beliau berinisiatif mendirikan pondok pesantren salaf yang kemudian bernama Miftahul Ulum. Awalnya pesantren didirikan tahun 1845 terbuat dari bambu. Pelajaran yang paling diutamakan adalah pengajian tartil Alquran. Mengingat Alquran modal utama membentuk santri tangguh.

Kisah Santri Sakti

Sebagian santri Kiai Sirojuddin adalah pemuda yang memiliki kesaktian. Salah satu santri itu adalah  Hamzah. Santri ini setiap malam Jumat Legi selalu menyebar beras kuning. Dengan taburan inilah muncul beberapa ekor tikus sebesar paha dan beberapa harimau yang besar. Santri asal Kudus yang sudah lama mondok di Jombangan.

Pada suatu hari santri itu diutus oleh Kiai Sirojuddin untuk menjaga sawahnya yang ditanami lombok, karena sering diganggu pencuri. Saat malam hari, datanglah beberapa pencuri menjarah tanaman Lombok. Pada suatu malam Kiai Sirojuddin menjaga sendiri tanamannya, dan benar juga apa yang dikatakan Hamzah, tak lama kemudiaan bermunculan beberapa orang bersenjata tajam yang ingin menyerang Kiai Sirojuddin.

Namun Kiai Sirojuddin mudah mengalahkan kawanan pencuri. Dengan mengambil segenggam debu, sang kiai menataburkan debu ke pencuri yang berjumlah tujuh orang. Hanya dengan segenggan debu, para pencuri terkaparlah ke tanah. Wajah pencuri itu tampak merah padam. Mereka berusaha bangkit dan berdiri. Namun tenaganya lumpuh.

Begitulah kisah perjuangan pendiri sejati Kiai Sirojuddin yang telah memulai segala sesuatu dari bawah. Mampu meletakkan sebuah tonggak sejarah pesantren sekaligus menciptakan nasab yang sekarang meneruskan estafet perjuangan beliau. Dan yang lebih tak ternilai lagi telah membuat karya besar, sebuah nama besar Pondok Pesantren Miftahul Ulum.***